Keberadaan pidana tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti bagi terpidana korupsi dinilai berjalan kurang efektif. Ini karena terpidana banyak yang memilih hukuman pengganti berupa kurungan dibandingkan harus membayar uang pengganti.
"Uang pengganti hanyalah pidana tambahan, namun adalah sangat tidak bijaksana apabila membiarkan terpidana tidak membayar uang pengganti sebagai cara untuk memulihkan kerugian negara," ujar Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA) Artidjo Alkostar di kantornya, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Selasa (2/7).
Menurut Artidjo, keberadaan uang pengganti dalam vonis dimaksudkan untuk mengembalikan kerugian negara akibat tindak korupsi yang dilakukan terpidana. Tetapi, dalam penerapan ketentuan uang pengganti, terang dia, masih ditemukan banyak masalah.
"Misalnya, apabila pelaku korupsi dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan penjatuhan pidana uang pengganti secara tanggung renteng atau bersama, karena perincian yang tidak jelas tentang kerugian negara yang diperoleh dari hasil korupsi, sehingga sulit menentukan uang pengganti sesungguhnya yang harus dikembalikan kepada negara," kata Artidjo.
Lebih lanjut, Artidjo menerangkan, ketentuan pidana uang pengganti harus diatur secara lebih ketat tidak memberikan ruang bagi terpidana untuk tidak menjalankan putusan hakim dengan tidak membayar dan lebih memilih menjalani pidana pengganti berupa kurungan.
"Ada saran bagaimana kalau ancaman kurungan pengganti kalau dia tidak membayar uang pengganti itu syaratnya tinggi. Jadi supaya dia dipaksakan membayar uang pengganti itu. Selama ini misalnya, pidananya rendah, ya dia memilih pidana saja. Padahal korupsinya miliaran rupiah bahkan triliunan," pungkas dia. (red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar