Senin, 08 Juli 2013

Memasuki Tahun Ajaran Baru


SMA Negeri I Tanjung Morawa DiDuga “Jual-Beli” Siswa
INDEX, Tanjung Morawa
Gedung SMA I Negeri Tanjung Morawa
Memasuki tahun ajaran baru, diduga ambil keuntungan pribadi dan kelompok, SMA Negeri I Tanjung Morawa diduga “jual-beli” siswa.
Diinformasikan, aksi “jual-beli” siswa tersebut terus berlangsung dan selalu memanfaatkan masa tahun ajaran baru dengan memintai uang kepada calon siswa baru dan pindahan dengan jumlah beragam senilai antara Rp.2,5 juta hingga Rp.5 juta dengan alasan uang administarasi dan pembangunan lokal (ruang kelas-red) baru.
Ironisnya, aksi “jual beli” siswa yang juga diduga tidak hanya terjadi di SMA Negeri I Tanjung Morawa tersebut, hingga kini terkesan didukung oleh pihak terkait.
Demikian terungkap saat beberapa orang tua siswa bercerita tentang anaknya yang kini harus mendafatar ke sekolah lain karena dikeluarkan  dari SMA Negeri I Tanjung Morawa dengan alasan yang duga dibuat-buat.
Menurut beberapa orang tua siwa yang tak satu menyebutkan namanya itu, demi masa depan anaknya itu, kini mereka (orang tua siswa-red) sibuk mengurus perpindahan masing-masing anaknya dari SMA Negeri I Tanjung Morawa ke sekolah lain.
Saat ditanya alasan perpindahan sekolah itu, para orang tua siswa tersebut mengaku diminta oeh oknum guru yang mempunyai jabatan di SMA Negeri I Tanjung Morawa dengan alasan anak mereka (orang tua siswa-red) tinggal kelas.
Anehnya, kata orang tua siswa tersebut, perpindahan itu sudah terendus jauh-jauh hari, sebelum ujian mata pelajaran di SMA Negeri I Tanjung Morawa dilaksanakan.
Tidak hanya itu saja, melalui oknum Wakil Kepala Sekolah SMA Negeri I Tanjung Morawa, beberapa siswa sudah mengetahui dirinya dipastikan tinggal kelas jauh sebelum ujian mata pelajaran itu digelar
Dalam hal ini, dengan alasan demi masa depan pendidikan anaknya itu, beberapa orang tua siswa mengaku tidak dapat berbuat apa-apa dan dengan sangat terpaksa harus memindahkan anaknya ke sekolah lain, karena anaknya yang ditinggal kelaskan di SMA Negeri I Tanjung Morawa itu akan menjadi naik kelas apabila pindah dari SMA Negeri I Tanjung Morawa.
Sementara itu, salah seorang dari orang tua siswa tersebut mengaku bahwa sebelumnya dia dimntai uang senilai Rp.3,5 juta oleh oknum dari pihak SMA Negri I Tanjung Morawa agar anaknya dapat bersekolah di SMA Negri I Tanjung Morawa dengan alasan untuk uang pembangunan lokal (ruang kelas-red) baru.
Tidak hanya itu saja, saat itu, diperkirakan sekira 40 siswa yang dimintai uang sekira antara Rp. 2,5 juta hingga Rp.5 juta oleh oknum pihak SMA Negeri I Tanjung Morawa yang kesemuanya itu dengan alasan untuk uang pembangunan lokal baru.
Namun, kata orang tua siswa tersebut, hingga anaknya yang kini sudah 2 tahun bersekolah di SMA Negeri I Tanjung Morawa itu, tidak ada lokal baru yang dibangun di sekolah itu (SMA Negeri I Tanjung Morawa-red)
Sayangnya, saat hal tersebut hendak dikonfirmasi, tak satupun pihak dari SMA Negeri I Tanjung Morawa yang mau memberikan tanggapan.
Ironisnya, Kasman Butar-Butara yang menjabat Kepala Sekolah hingga kini tidak dapat ditemui di SMA Negri I Tanjung Morawa. (red)

Pidana Uang Pengganti Banyak Tak Dibayar Terpidana korupsi

INDEX, Jakarta
Keberadaan pidana tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti bagi terpidana korupsi dinilai berjalan kurang efektif. Ini karena terpidana banyak yang memilih hukuman pengganti berupa kurungan dibandingkan harus membayar uang pengganti.

"Uang pengganti hanyalah pidana tambahan, namun adalah sangat tidak bijaksana apabila membiarkan terpidana tidak membayar uang pengganti sebagai cara untuk memulihkan kerugian negara," ujar Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA) Artidjo Alkostar di kantornya, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Selasa (2/7).

Menurut Artidjo, keberadaan uang pengganti dalam vonis dimaksudkan untuk mengembalikan kerugian negara akibat tindak korupsi yang dilakukan terpidana. Tetapi, dalam penerapan ketentuan uang pengganti, terang dia, masih ditemukan banyak masalah.

"Misalnya, apabila pelaku korupsi dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan penjatuhan pidana uang pengganti secara tanggung renteng atau bersama, karena perincian yang tidak jelas tentang kerugian negara yang diperoleh dari hasil korupsi, sehingga sulit menentukan uang pengganti sesungguhnya yang harus dikembalikan kepada negara," kata Artidjo.

Lebih lanjut, Artidjo menerangkan, ketentuan pidana uang pengganti harus diatur secara lebih ketat tidak memberikan ruang bagi terpidana untuk tidak menjalankan putusan hakim dengan tidak membayar dan lebih memilih menjalani pidana pengganti berupa kurungan.

"Ada saran bagaimana kalau ancaman kurungan pengganti kalau dia tidak membayar uang pengganti itu syaratnya tinggi. Jadi supaya dia dipaksakan membayar uang pengganti itu. Selama ini misalnya, pidananya rendah, ya dia memilih pidana saja. Padahal korupsinya miliaran rupiah bahkan triliunan," pungkas dia. (red)